You need to enable javaScript to run this app.

KEPEMIMPINAN YANG MELAHIRKAN PEMIMPIN

  • Rabu, 14 Mei 2025
  • Administrator
  • 1 komentar
KEPEMIMPINAN YANG MELAHIRKAN PEMIMPIN

KEPEMIMPINAN YANG MELAHIRKAN PEMIMPIN

Simon Sinek dalam bukunya Leaders Eat Last menyampaikan satu gagasan mendalam: pemimpin sejati bukanlah dia yang memiliki banyak pengikut, tetapi dia yang mampu melahirkan lebih banyak pemimpin. Kepemimpinan sejati tidak diukur dari jumlah orang yang tunduk padanya, melainkan dari seberapa banyak orang yang bangkit, tumbuh, dan berkembang di sekitarnya berkat kehadirannya.

Dalam dunia yang sering terjebak dalam hirarki, simbol, dan kekuasaan, sering kali kepemimpinan disalahartikan sebagai dominasi. Namun sejatinya, pemimpin adalah mereka yang melayani, bukan dilayani. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim). Kepemimpinan beliau bukan memaksa, tetapi memikat dengan akhlak dan kasih sayang.

Kepemimpinan yang otentik bukan tentang berada paling depan, tetapi tentang mendorong yang lain untuk mengambil langkah pertama mereka. Bukan tentang menjadi pusat perhatian, melainkan menjadi poros yang menggerakkan, membesarkan, dan memberi ruang bagi potensi orang lain untuk bersinar. Seorang pemimpin tidak menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian yang bertanggung jawab.

Dalam ajaran Islam, prinsip ini ditegaskan dalam Al-Qur'an: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2). Pemimpin yang baik mengajak pada kerja kolektif yang penuh nilai, bukan memusatkan segalanya pada dirinya.

Stoikisme mengajarkan bahwa kehormatan tidak datang dari posisi atau jabatan, tetapi dari tindakan. Tindakan yang membebaskan orang lain dari rasa takut dan ketidakpastian. Pemimpin yang menebar rasa aman adalah pemimpin yang memungkinkan orang lain untuk berpikir, mengambil inisiatif, dan berkembang. Bukan rasa takut yang memicu ketertiban, tetapi rasa hormat dan kepercayaan.

Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri), salah satu kiai kharismatik Indonesia, pernah berkata, “Pemimpin itu bukan yang merasa paling hebat, tapi yang membuat orang lain merasa berarti.” Dalam kalimat ini, terkandung esensi pemimpin sebagai pemberi nilai bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak merasa harus selalu menjadi jawaban, tetapi menjadi jembatan bagi orang lain menemukan jawaban mereka sendiri.

Pemimpin sejati hadir bukan untuk dipuja, tetapi untuk menguatkan. Ia berjalan bersama, bukan di atas. Ia tidak memanfaatkan kelemahan orang lain untuk mempertahankan posisi, tetapi justru menumbuhkan kekuatan dalam diri orang lain agar mereka mampu berdiri, bahkan melampaui dirinya. Ia tidak takut jika orang-orang di sekitarnya menjadi lebih hebat, karena itulah misinya.

Ketika seorang pemimpin merasa harus menjadi pusat segalanya, maka ia sedang membangun kekuasaan, bukan kepemimpinan. Kepemimpinan yang sejati justru akan tampak ketika sang pemimpin tak lagi ada, namun nilai-nilainya tetap hidup dalam tindakan dan keputusan para pemimpin baru yang ia lahirkan. Dalam Islam, ini disebut dengan “amal jariyah”—kebaikan yang terus mengalir meski sang pelaku telah tiada.

Nabi Musa a.s. pun dalam perjuangannya diberi pendamping, yakni Nabi Harun a.s., bukan karena ia lemah, tetapi karena kepemimpinan adalah tentang kolaborasi, bukan dominasi. Allah berfirman: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengan dia, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (QS. Thaha: 29–32). Ini bukti bahwa bahkan para nabi memahami bahwa kepemimpinan bukan milik satu orang.

Paus Fransiskus pernah mengingatkan, “Authority is service: Let us not forget that!” Kekuasaan adalah pelayanan. Pemimpin bukan raja yang duduk di singgasana, tapi pelayan yang berjalan bersama rakyatnya. Ketika pemimpin mengerti bahwa kekuatannya ada pada seberapa banyak ia melayani, maka ia sedang menapaki jalan kepemimpinan yang benar.

Pemimpin bukanlah tujuan, melainkan sarana. Kepemimpinan sejati bukan tentang legacy dalam bentuk nama besar, tetapi dalam bentuk manusia-manusia baru yang tercerahkan, mandiri, dan siap melanjutkan estafet. Maka, jika dari kepemimpinanmu hanya lahir ketergantungan, mungkin yang sedang kamu bangun adalah kekuasaan. Tapi jika yang lahir adalah pemimpin-pemimpin baru, itulah tanda bahwa kamu telah menjalankan misi kepemimpinan dengan bijak dan berakhlak.

Akhirnya, kepemimpinan adalah seni menghilang dengan anggun. Ketika kepergianmu tidak membuat sistem runtuh, tetapi justru menyuburkan pertumbuhan, maka kamu telah memimpin dengan penuh kasih, visi, dan keikhlasan. Sebab, seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Pemimpin terbaik adalah dia yang membuat orang-orang tidak menyadari kehadirannya, tetapi merasakan kebaikannya.” (Jyt)

Bagikan artikel ini:

1 Komentar

"semoga bermanfaat dan bisa berfaedah untuk generasi yang lebih baik"
14 May 2025 13:22 Jiyanto

Beri Komentar

Jiyanto, S.E

- Kepala Sekolah -

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Pendidikan adalah produk kreatifitas yang sangat luar biasa, aktifitas pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah usaha untuk...

Berlangganan
Jajak Pendapat

Bagaimana pendapat anda mengenai web madrasah kami ?

Hasil
Banner